Senam Kesehatan Jasmani
Memasuki minggu kedua karantina mandiri, aku menyibukkan diriku dengan melakukan berbagai macam hal — selain tidur, tentunya — seperti berbenah kamar, berbenah diri, atau sekedar silaturahmi daring dengan keluarga dan teman-teman lama. Di sela-sela waktu dimana pikiranku kosong, dan betapa ini sebuah penyakit; alih-alih berdzikir, yang kulakukan adalah tak hentinya membaca cuitan-cuitan di Twitter.
Kutemukan cuitan berisi video yang terdengar dan terlihat begitu familiar.
Senyumku mengembang. Lima belas tahun silam, aku diantar ke sekolah pada hari Sabtu. Uang jajanku 5 ribu rupiah, yang kuterima dari tangan Bapakku sebelum turun dari mobil, lalu kusalim tangannya. Aku masih ingat betul celana training berwarna hijau dan kaos putih yang kukenakan. Memang tidak umum bersekolah pada hari Sabtu, tapi pada masa itu kita amat menikmatinya. Kita akan berdoa bersama-sama, lalu lagu dinyalakan.
Tanda bahwa Senam Kesehatan Jasmani pada Sabtu pagi di SD Islam Al-Barkah Batam akan segera dimulai.
Aku ingat betul jajanan yang akan kusantap pada hari Sabtu. Uang jajanku 5 ribu, jadi akan kubelikan burger telur seharga 3 ribu, 500 perak untuk es teh dalam kantong plastik, dan sisanya akan kubelikan Okky Jelly Drink atau kue pukis. Aku ingat teman-temanku; kami akan bertukar komik dan saling mengirim lagu-lagu terbaru menggunakan teknologi mutakhir pada masa itu…infra red.
Rasanya hatiku seperti menghangat, mengingat masa-masa dimana aku dihukum lari keliling lapangan tujuh kali karena nilaiku tidak mencapai KKM, atau mistar semeter yang digunakan sebagai cemeti untuk menghukum anak-anak nakal. Aku ingat bel yang dipukul untuk menandakan waktu masuk kelas, istirahat, dan pulang ke rumah. Aku ingat Harvest Moon. Berenang, dan menyantap bekal Indomie goreng yang dingin dan berbentuk kotak seperti cetakannya. Mengingat semua ini, dan betapa jauhnya rentang 15 tahun itu (yang kalau ibaratnya manusia, dia sudah masuk SMA), kehangatan itu berubah menjadi kedinginan.
Nostalgia itu sungguh tak punya etika dan sopan santun.
Jangankan ia menelpon dulu sebelum berkunjung, mengucapkan salam juga tidak. Ia menyerbu pintu hatiku bak polisi menggerebek pecandu narkoba yang sedang gele jama’ah di dalam kos-kosan kumuh yang biaya sewanya tidak sampai separo juta sebulan. Aku si pecandu narkoba yang diserbu Bapak Polisi; kaget dan lemas, dengan kedua tangan di atas. Pasrah. Mukaku terasa panas, air mata menyeruak dari kedua pelupuk mataku. Rindu. Rindu. Rindu akan sesuatu yang tidak akan pernah terulang lagi. Seberapa kerasnya aku mencoba, aku tidak akan pernah melawan arus ini. Aku tidak akan pernah berhenti berubah. Kedua orang tuaku rambutnya akan selalu memutih dan keriput mereka tidak akan berkurang.
Hatiku gigih menolak kenyataan ini, tapi aku tidak akan pernah lagi mengenakan training hijau dan melakukan Senam Kesehatan Jasmani 90'an pada Sabtu pagi.